Renungan Ramadhan
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBKesalahan yang tampak bukan kesalahan, dari keseharian yang begitu dekat dengan kita.
Pada kesempatan kali ini saya akan membahas beberapa kesalahan fatal yang mungkin terlihat sepele dan bukan merupakan kesalahan.
1. Pakaian
Shalat taraweh di bulan Ramadhan nyaris menjadi kewajiban. Karena itu, banyak jamaah kemudian berangkat untuk shalat isya dan taraweh. Jarang sekali ada orang yang shalat jamaah isya kemudian pulang dan taraweh di rumah.
Ada hal yang sangat mengganjal namun saya tidak bisa menegur atau setidaknya mengomentari. Apa itu? Pakaian yang dikenakan oleh muslimah saat menuju ke masjid dan sepulang taraweh. Entah apakah mereka tidak tau aurat perempuan, atau memang sengaja mengenakan pakaian seperti itu? Entah. Saya hanya bisa diam dan sesekali terpaksa 'menikmati' pemandangan seperti itu karena mata ini ga bisa tertutup otomatis dengan hal negatif.
Berikut ini 2 kasus yang mungkin juga terjadi di lingkungan kalian.
1. Aurat tangan: Meski menggunakan pakaian shalat muslimah, namun banyak perempuan baik ibu-ibu atau remaja putri yang menyingsingkan bagian lenganya dan membiarkan terbuka. Bagi mereka yang mengenakan pakaian dalam kaos lengan pendek, hanya tertutupi sampai siku. Ada juga yang tak tertutupi sama sekali karena mungkin hanya sekedar menggunakan kaos dalam.
Pemandangan seperti ini tidak hanya terlihat saat perjalanan dari masjid atau sepulang taraweh saja, dalam keseharian kita pasti sering menjumpai perempuan yang berkerudung tapi mengenakan kaos lengan pendek. Ada juga yang menggunakan baju atau kaos lengan panjang namun menyinsingkanya sekian centi meter dari batas yang boleh terbuka, yakni pergelangan tangan.
2. Aurat kaki: banyak perempuan yang mungkin karena alasan takut kotor yang terlalu lebay kemudian mengangkat roknya sampai lutut. Padahal tidak banjir.
Malam ini saya dibuat kaget, bukan karena banyaknya perempuan yang mengangkat rok tinggi-tinggi sampai melupakan batas auratnya. Tapi karena ada beberapa remaja putri yang memakai celana pendek di atas lutut, kemudian keluar dari gerbang rumahnya tanpa rasa bersalah. Memang tubuh bagian atasnya tertutupi kain mukena sampai paha, setelah itu terlihat sedikit celana pendeknya. Sambil cekikikan dia berjalan sambil berbisik dengan temanya.
Jelas ini bukan soal aurat saja, tapi etika. Tidak menutup aurat tentulah sebuah kesalahan, dan tidak etis adalah kesalahan tambahan. Kita mungkin bisa memaklumi perempuan yang memakai celana pendek ke mall atau hotel, memaklumi pakaian bikini di perjalanan dari lobi hotel menuju pantai. Tapi yang saya lihat malam ini adalah perjalan dari rumah menuju masjid. Luar biasa sekali ketika pemandanganya tidak jauh berbeda dengan tempat wisata.
Maka dengan tulisan ini, semoga para pembaca perempuan di luar sana bisa menerima hal ini. Tentu lebih mudah menasehati seseorang yang sama sekali tidak kita kenal, daripada memberi tahu mereka yang berada di lingkungan kita. Saya yang memang baru tahun ini berada di tengah-tengah masyarakat desa kelahiran karena sebelumnya merantau, jelas kesulitan atau enggan untuk menyapa hanya untuk menegur. Kadang kita harus diam dan membicarakan hal tak penting agar disenangi lingkungan, daripada harus menegur karena kemungkinan besar akan memperkeruh suasana silaturrahmi. Ibaratnya gini" baru ketemua aja pake sok ngatur". Karena bagaimanapun ditegur itu selalu tidak menyenangkan.
2. Pengertian Ibadah
Saya melihat beberapa teman menegur agar pada bulan Ramadhan sekelilingnya untuk fokus ibadah ketimbang politik. Jelas ini sebuah kesalahan, setidaknya menurut saya. Karena ibadah tidak hanya sebatas shalat, mengaji, zakat, dakwah dan sebagainya.
Pengertian ibadah itu sangat luas, bahkan sesuatu yang menurut nafsu manusia adalah senang-senang seperti hubungan suami istri juga masuk dalam kategori ibadah. Istri memasak untuk suami, mencuci pakaianya atau sekedar berada di rumah menunggu suami pulang kerja juga adalah bagian dari ibadah.
Maka dari itu, aktifitas yang kita lakukan tidak bisa disekat dan dibatasi hanya karena mengkritisi proses pelaksanaan pilpres yang memang lumayan sengit. Bahkan meski penetapan KPU telah usai, suasana kampanye itu masih terasa sampai sekarang. Yang menang sedang menikmati kemenanganya, sementara yang kalah sedang mencari pembelaan.
Menulis tentang sebuah pendapat tentang politik, pemerintahan dan hal-hal yang berguna juga bagian dari ibadah. Memikirkan negeri ini juga ibadah. Bukankah tersenyum kepada seseorang juga ibadah? Lantas kenapa untuk alasan yang lebih besar seperti negara kemudian dianggap tidak berguna? Atau dianggap tidak menghargai Ramadhan dengan tetap membahas politik?
3. Kalkulasi pahala
Apa kalian pernah melihat tulisan orang yang menuliskan aktifitas ibadahnya? Semisal: alhamdulillah sudah hatam satu kali, shalat taraweh dulu ah, malam ini tadarus, malam ini imam di masjid A dan sebagainya.
Disadari atau tidak, sosial media menjadi sebuah media pencitraan yang bisa saja mereka hanya menuliskan, tapi tidak melakukan. Sebelum bahasan ini melebar, saya cukupkan sampai di sini.
Mungkin kita bisa berprasangka baik bahwa apa yang mereka tuliskan tersebut adalah cara untuk mengajak orang lain untuk juga melakukan hal yang mereka lakukan. Tapi kemudian permasalahanya menjadi rumit ketika sebagian mereka mulai memberi penilaian.
Saya termasuk orang yang seingat saya tidak pernah menulis tetang Palestina atau 'pamer' ibadah. Apalagi Ramadhan kali ini ada pilpres yang saya rasa lebih memungkinkan untuk didiskusikan berbanding tentang Palestina yang sampai saat ini saya masih tidak terlalu mengerti. Membahas sesuatu yang tidak saya tau justru akan menyebabkan opini sesat yang jika dibiarkan malah akan menjurus ke fitnah dengan bekal bisa jadi, jangan-jangan, dan sebagainya.
Pernah saya ditegur teman, mengapa tidak sedikitpun membahas Palestina, malah sibuk dengan Jokowi atau Prabowo. Kemudian dengan sangat tepaksa saya jawab, kalaupun saya mendoakan atau menyumbang untuk Palestina, itu hanya transaksi antara saya dan Allah. Bukan antara saya dengan kamu dan mereka.
Dari contoh ini, mungkin juga kalian pernah berada di posisi yang sama. Karena tak pernah menuliskan shalat taraweh, shalat tahajud, mengaji dan sebagainya sebagainya status di sosial media, kemudian orang-orang menganggap kita tidak melaksanakan hal tersebut. Ada juga kisah yang lebih ekstrim karena menganggap aktifitas di FB adalah hal yang sia-sia dan tidak memanfaakan ramadhan dengan baik.
Padahal mereka yang memiliki smartphone, FB dan sosial media lainya adalah bagian dari yang otomatis terhubung tanpa susah payah. Ibarat telpon dan SMS, ada kapan saja selama HP kita ON. Lantas apakah karena ramadhan kemudian semua fitur ini harus kita matikan? Menurut saya tidak. Tapi menghikangkan atau mengurangi bahasan yang tidak penting adalah keharusan. Tapi ya kalau tulisanya tentang sesuatu yang mampu membuag orang berfikir, saya yakin itu masih bagian dari sesuatu yang layak untuk dikategorikan sebagai ibadah. Toh belajar tak harus di ruang kelas dengan baju formal bukan?
Mungkin sekian dulu bahasan dari keseharian yang sangat dekat dengan kita.
Salam Alifurrahman
Whatsapp: 08191 368 3954
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Renungan Ramadhan
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBCeloteh Rakyat Jelata Untuk Pemimpin Negeri
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler